Minggu, Februari 23, 2014
0
Sabtu, 22 Februari 2014 
JAKARTA. Setiap orang memiliki strategi tersendiri dalam berinvestasi. Tapi, sudah sepatutnya paham betul instrumen investasi yang dibeli agar tak merugi. Tengok saja, Olivia Surodjo, Direktur Urusan Perusahaan dan Sekretaris Perusahaan PT Metropolitan Land Tbk (MTLA), yang lebih memilih investasi di sektor properti.

Sebagai orang yang berkecimpung dalam industri properti, ia lebih percaya diri membiakkan dananya dalam properti. Pasalnya, ia paham lokasi-lokasi yang bernilai tinggi di masa mendatang.

Tak heran, properti menjadi fokus investasinya dalam lima tahun terakhir. Mayoritas portofolionya pun ditempatkan pada properti. Namun, tidak seperti kebanyakan orang yang membeli rumah dan apartemen, Olivia lebih memilih mengoleksi lahan. "Karena nilai jual lahan tetap tinggi dalam jangka waktu lebih panjang," ungkapnya.

Ia membeli sejumlah lahan di daerah-daerah yang berprospek bagus. Misalnya, di kawasan Jakarta Barat yang akan dibangun monorel interchange. Kebetulan, di situ, MTLA bersama Agung Sedayu dan Karyadeka Lestari memiliki proyek.

Olivia mengaku, banyak belajar strategi investasi dari Warren Buffet. "Buffet bilang, jangan menyemplungkan uang di tempat yang kamu tidak mengerti dan hanya mengikuti tren," tuturnya.

Tapi, bukan berarti, ia tidak melirik instrumen lain. Perempuan kelahiran 37 tahun silam ini menanamkan dananya dalam saham. Namun, saham yang dimasukinya pun cuma properti dan perbankan. Alasannya masih sama, yaitu karena properti adalah bidang yang sangat ia pahami. Sedangkan untuk perbankan, dia anggap masih berkorelasi dekat dengan bisnis properti.

Meski secara fundamental properti dan perbankan mengalami perlambatan, Olivia bilang, jangka panjang masih dapat memberi imbal hasil tinggi dibanding deposito. "Selama memilih perusahaan dengan fundamental yang solid, ini tentunya akan tetap menguntungkan," ungkapnya.

Tipe konservatif

Olivia mengaku, dirinya adalah tipe investor yang cukup konservatif dalam berinvestasi di pasar saham. Meski usianya masih terbilang muda, ia tak berani terlalu agresif.

Maklum, ia agak trauma dengan kerugian yang dialaminya ketika New York Stock Exchange anjlok pada 2008 silam. Padahal, kala itu, ia mengoleksi saham-saham bluechips, seperti Google dan Apple. "Saya terpaksa melikuidasi semua saham saya. Tabungan pun ludes semua," kenangnya.

Makanya, sampai sekarang, Olivia tak menempatkan porsi besar dalam saham, yakni hanya sekitar 10% dari total portofolio. Ia juga bukan tipe trader saham harian.

Selain properti dan saham, saat ini Olivia juga menyebar portofolionya dalam deposito valuta asing, yakni dollar AS. Namun, ia bilang, dollar tak akan terlalu kuat dalam jangka panjang. Pasalnya, kondisi kebijakan fiskal, defisit, dan pagu utang yang naik, secara teori ekonomi bisa menyebabkan dollar tak akan bernilai tinggi dalam jangka panjang,
Maka, sebagai diferensiasi, ia berencana mengoleksi instrumen dalam yuan China. Alasannya, negeri Tirai Bambu itu memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Bahkan, Amerika Serikat memiliki banyak utang ke China. 

Selain itu, ia juga tertarik  berinvestasi dalam emas. Hanya saja, ia menilai, sekarang ini nilai logam mulia tersebut masih berfluktuasi, dan masih akan turun. Lantaran pandangan ini, ia berencana menunggu harga emas lebih murah sebelum mulai berinvestasi di logam kuning ini.

Olivia termasuk orang yang disiplin berinvestasi, Saban bulan, ia menyisihkan 35% dari pendapatan untuk investasi. Dengan begitu, ia berharap bisa menyediakan lebih banyak aset untuk anak semata wayang yang kini berusia 7 tahun.

0 komentar: